CERPEN

CERPEN

5775

                                                                                            CERITA BERSAMBUNG

CINTA MEMBAWAMU KEMBALI
Karya: Mautauaja- mautaubanget
didedikasikan buat ABG-ABG SMA KARYA BUDI PUTUSSIBAU 
yang Culun tapi Manis

Juni 2008

Hari itu hari pertama tahun ajaran baru. Tawa ceria terdengar di sana sini. Para siswa sedang merayakan perjumpaan setelah berlibur selama tiga pekan. Liburan itu terasa panjang dan membosankan karena sekolah adalah tempat yang paling dirindukan. Siswa-siswa baru sedang berbaris di lapangan memeragakan PBB, Peraturan Baris Berbaris, salah satu materi Masa Orientasi Sekolah pada hari itu.

                                                                                      >>rice

Di perpustakaan, suasana masih sepi. Rice adalah satu-satunya pengunjung pada pagi itu. Ia agak berbeda dari siswa-siswa lain. Dia tidak begitu menikmati keramaian. Kesenangannya ialah membaca buku-buku.

Rice mengambil sebuah buku dari rak, lalu duduk menghadap jendela kaca. Matanya menatap keluar. Cukup lama. Buku di atas meja baca tak kunjung ia baca. Itu adalah kali pertama dalam hidupnya, ada objek lain yang lebih menarik dari pada sebuah buku.

“Bukunya kok nggak dibaca?” Dian, pustakawati sekolah, mencandainya setelah mengamatinya selama beberapa menit. Rice cepat-cepat mengalihkan perhatiannya kembali pada buku yang sudah terbuka di hadapannya. Wajahnya memerah. Terciduk sedang memperhatikan seseorang membuatnya merasa malu. Ia memang seorang pemalu.

Agak jauh di sana, di selasar kelas 12 IPA 1, berdiri seorang gadis bersama beberapa temannya. Apa yang mereka sedang percakapkan tidak terdengar jelas. Sesekali mereka tertawa. Suara tawanya yang merdu itu selaras dengan wajahnya yang permai.

Dian mendekat dan duduk di sampingnya.  " Kamu suka ya sama Shirley ? " kembali Dian mencandainya.

"Kak Dian sotoy," Rice buru-buru membuka halaman-halaman buku di hadapannya. “Semua cewek di sana cantik. Kok Shirley yang disebut?”

“ Jadi, bukan Shirley nih yang kamu suka ? ” tanya Dian lagi.

Rice tidak menjawab. Dia pura-pura menekuni buku bacaannya.

Shirley adalah salah satu bintang sekolah itu. Pesona fisiknya luar biasa. Wajahnya menyihir siapa saja yang memandangnya. Di kota kecil itu, dia menjadi buah bibir tidak hanya di kalangan para pelajar, tetapi juga para orang tua. Selain cantik, dia juga cerdas. Dia menyandang gelar Duta Lingkungan Hidup karena gagasannya yang cemerlang tentang pengolahan sampah dan kefasihannya berbicara dalam Bahasa Inggris dan beberapa bahasa lainnya. Dia ramah kepada siapa saja dan tidak pernah bicara kasar.

Meskipun begitu, Rice barangkali satu-satunya orang yang tak pernah berinteraksi dengannya. Dengan kata lain, Rice adalah penggemar rahasianya.

Rice kembali melayangkan pandangannya ke arah Shirley. Pesona gadis itu bagaikan magnet yang membuat Rice tak bisa mengalihkan pandangannya darinya. Kebetulan yang dipandangi juga sedang mengarahkan pandangan ke arah dia. Kali ini, sang idola sendiri menangkap basah penggemarnya sedang memperhatikan dirinya. Rice cepat-cepat mencari lagi kalimat terakhir yang dia baca pada buku itu.


OKTOBER 2008 

Pada tanggal dua, OSIS SMA Fajar Timur merancang kegiatan lintas alam untuk seluruh siswa. Kegiatan itu akan dilaksanakan dua hari berikutnya, yakni tanggal empat, untuk merayakan Pesta Santo Fransiskus Assisi, Pelindung sekolah itu dan juga Pelindung lingkungan hidup. Para pelajar itu akan berjalan kaki melintasi kawasan hutan lindung sebelum akhirnya berkemah. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 hingga 12 orang. Pembagian kelompok itu dipajang pada papan informasi setiap kelas. Semua menyambut gembira kegiatan itu.

 Rice membaca pengumuman di papan informasi di depan kelasnya. “Mimpikah aku?” Rice berkata pada dirinya sendiri. Diusapnya matanya beberapa kali. Untuk kesekian kalinya dia membaca informasi itu. Rhinoplax Vigil, demikian nama kelompok itu, dan tepat di bawah nama NORMA WINSHIRLEY CASSANDRA CARMEN tertulis RICE ORIZA MEGADAYA, namanya sendiri. “Shirley satu kelompok denganku?” jantungnya mulai berdetak kencang memompa darah seakan-akan memberi energi untuk mengoyak waktu.

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Ada sepuluh bus yang mengangkut para siswa itu dari sekolah mereka menuju ke loket pintu masuk hutan lindung. Kelompok Rhinoplax Vigil, bersama dua kelompok lainnya, diangkut oleh bus yang terakhir. Setelah diturunkan dari bus, anak-anak itu langsung memulai perjalanan melintasi alam sesuai rute yang telah ditentukan. Ketua kelompok membawa peta dan kompas.

                                                                                                     

                                                   >>RICE dan SHIRLEY

Setelah satu jam berjalan, ketua kelompok memberi isyarat untuk berhenti. Masing-masing mencari tempat untuk duduk. Mereka melepas lelah sejenak. Semuanya, kecuali Rice, tampak lelah. Rice bukan orang kota. Kedua orang tuanya peladang. Mereka biasa pergi ke ladang dengan berjalan kaki selama berjam-jam. Baginya, ini belum apa-apa.

Shirley duduk tak begitu jauh dari Rice. “Hai,” dia menyapa Rice dengan senyum ramah. Rice salah tingkah sampai-sampai dia lupa menjawab sapaan itu. “Sombong amat,” wajah Shirley seketika berubah cemberut. Ia lalu meneguk air minum dari botolnya.

Benji, salah satu anggota kelompok itu, adalah anak yang terkenal iseng. Selama istirahat dia tidak berhenti mengoceh. Teman-temannya menertawai dia karena lawakannya tak kalah lucu dari komik Cak Lontong. Setelah dia sendiri lelah, dia duduk. “Kita semua sebelas orang,” katanya memulai lagi bualannya. “Empat cowok, tujuh cewek. Kia, Rice dan Roy masing-masing boleh menculik dua cewek. Tapi yang diculik bukan Shirley ya, karena Shirley sepertinya diciptakan buat aku,” ucapnya langsung mengambil tempat duduk dekat Shirley.

Shirley pindah tempat duduk semakin dekat dengan Rice.

“Shirley, untuk mendapatkanmu, jangankan mendaki gunung dan menyeberangi lautan, lebah pun akan aku sengat untukmu,” Benji mengucapkan kata-kata gombalnya.

“Tuh lebah. Sengat kalo berani,” ucap Fiona mengacungkan tangannya ke sarang lebah yang menempel pada dahan salah satu pohon.

Benji mengangkat wajahnya searah tangan Fiona. “Shirley, akan aku persembahkan madunya untukmu,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Shirley. Shirley hanya tersenyum.

Benji memungut potongan kayu.

“Kamu mau ngapain, Benji?” Rice yang sebelumnya diam tiba-tiba bersuara. Ia cemas melihat gelagat temannya yang over-acting itu. ”Bukan begitu caranya mendapatkan madu lebah,” lanjutnya lagi.

“Udah, diam aja. Perhatikan bagaimana abang bekerja. Okay?” Benji melempari sarang lebah itu. Ratusan lebah berdengung berhamburan keluar sarang dan mulai menyerang.

Anak-anak itu lari menghindari sengatan. Rice dan Shirley juga berlari sekuat tenaga. Shirley bukan seorang pelari. Akan tetapi, kepanikan dan ketakutan menghasilkan energi sedemikian rupa. Ia ternyata telah berlari jauh ke dalam hutan.

“Aduh, kita di mana?” Shirley berhenti lalu memegang perutnya setelah beberapa lama berlari. Rice yang berada beberapa langkah di depannya juga berhenti, melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. “Kita di mana?” tanya Shirley lagi dengan nafas masih terengah-engah. Rice menggeleng. “Aku tidak tahu,” jawabnya.

“Gimana, dong?” Shirley mulai panik. Wajahnya meringis. Ia baru sadar tangannya perih karena tergores semak-semak.

“Kita jalan ke arah sana. Mudah-mudahan kita menemukan jalan,” Rice berusaha menjawab dengan tenang.

“Kamu jangan jauh-jauh ya. Aku takut,” Shirley bergegas mengikuti Rice dari belakang.

Setelah berjalan menerobos semak-semak, mereka menemukan jalan setapak. Mereka menyusuri jalan itu.

“Rice,” panggil Shirley. Rice berhenti. “Aku haus,” kata Shirley lagi.

Rice menyerahkan botol minumannya untuk Shirley. Shirley minum.

“Aku nggak tau botol minumanku jatuh di mana,” Shirley mengembalikan botol minuman itu. “Terima kasih,” ucapnya. Rice mengangguk.

Setelah berjalan lagi, mereka menemukan persimpangan.

“Kita mesti ke mana? Kiri atau kanan?” tanya Shirley.

“Kita istirahat dulu di sini. Siapa tahu ada orang di belakang kita,” jawab Rice. Shirley menurut. Ia segera mencari tempat untuk duduk. Setelah satu jam, tak seorang pun lewat di sana. Akhirnya, Rice berdiri. “Kita ambil jalan ke kanan. Mudah-mudahan jalan ini membawa kita ke jalan raya,” ucapnya.

Shirley tidak punya pilihan selain mengikuti kata-kata Rice. Beberapa jam lamanya mereka berjalan. Mereka tidak menemukan jalan raya maupun teman-teman mereka. Mereka sadar, mereka sudah tersesat.

“Aduh… Bagaimana ini?” Shirley mulai menangis. Ia ketakutan.

“Kita harus terus berjalan,” Rice berusaha tetap tenang.

Shirley mengusap air matanya. Keduanya kembali berjalan.

Hari semakin senja. Hutan itu semakin gelap. Cahaya matahari tidak lagi mampu menembus rindangnya pepohonan. Suara serangga dan satwa lainnya semakin ramai. Sayup-sayup terdengar desau air sungai.

Mereka tiba di tepi sungai. Di tepi jalan setapak ada sebuah pondok. Tepi sungai itu masih cukup terang karena pohon-pohon tidak menutupinya. Hamparan batu koral yang cukup luas membuat tempat itu begitu indah. “Sebaiknya kita berhenti di sini,” Rice melepaskan ranselnya yang berat.

“Bermalam di sini?” suara Shirley meninggi.

“Mau gimana lagi? Mau berenang?”

“Tempatnya bagus sih,” Shirley memandang sekeliling. “Tapi lu jangan macem-macem ya ama gue?” katanya pada Rice. Shirley naik ke atas pondok itu. Atap pondok terbuat dari daun sagu. Lantainya tersusun dari bambu-bambu bulat. Pondok itu tak berdinding.

Rice menyalakan api. Sesudah itu ia mencari batang-batang bambu dan membersihkan ruasnya di sungai. Ia memasak air dan nasi menggunakan ruas bambu-bambu itu. Kemudian, Rice mengeluarkan perbekalan dari ranselnya. Isi ranselnya lengkap. Ia tak lupa membawa garam dan bumbu masakan. Dia juga membawa dua kaleng ikan sardine. Bahan-bahan makanan itu dimasukkan juga ke dalam ruas bambu untuk dimasak.

Tidak lama kemudian, air di dalam bambu meluap. Nasi juga sudah masak. Rice mengeluarkan perlengkapan makan: piring, mangkuk dan sendok.

Melihat Rice sibuk bekerja, Shirley turun dari pondok untuk membantu. “Sebenarnya isi ranselku juga lengkap. Ada roti, keju, susu. Ada camping kits. Tapi aku meninggalkannya di tempat kita istirahat tadi. Sialan tuh Si Benji. Iseng banget,” Shirley mengenang kejadian beberapa jam sebelumnya. Dia membantu Rice menyiapkan semua bahan makanan itu. Dia biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ibunya sering tidak berada di rumah.

Setelah semua bahan makanan siap, mereka berdua makan bersama malam itu. “Biar aku cuci piringnya,” ucap Shirley setelah mereka selesai makan.

“Baik. Aku pegang lampunya,” jawab Rice.

Mereka turun ke sungai. Shirley mencuci semua perlengkapan makan itu, sedang Rice memegang lampu untuk meneranginya.

Malam itu tenang. Langit pun cerah. Padahal, waktu itu adalah musim hujan.

“Sekarang hampir jam delapan. Sebaiknya kamu tidur. Kamu boleh pakai sleeping bag aku,” kata Rice.

“Kamu sendiri pakai apa?” tanya Shirley.

“Jaketku lumayan tebal. Ditambah mantel, aku nggak bakal kedinginan. Aku juga punya lotion untuk mencegah gigitan nyamuk,” jawab Rice.

“Terima kasih ya, Rice, kamu baik banget,” ucap Shirley sambil melangkah naik ke atas pondok.

Walaupun telah berbaring hampir selama satu jam, Shirley belum bisa tidur. Ia mengeluarkan kepalanya dari sleeping bag itu. Ia tidak melihat Rice di tempat duduknya semula.

“Rice, kamu di mana?” panggil Shirley.

“Aku di sini,” suara Rice terdengar agak jauh.

Sosok Rice kemudian samar-samar terlihat keluar dari dalam semak-semak. Rice mendekati perapian.

Shirley segera turun dari pondok dan mendekati perapian itu. “Kamu dari mana aja? Kok nggak ngasih tahu aku pergi ke mana?” ia bertanya.

“Nyari singkong. Aku nggak mau ganggu kamu lagi tidur. Lagian aku perginya nggak jauh, kok,” jawab Rice. “Kopi?” Rice menyodorkan secawan kopi panas.

Shirley mengangguk dan menerimanya. “Terima kasih,” ucapnya. Shirley menghirup aroma kopi itu. “Kopinya enak banget. Robusta, ya?”

Rice mengangguk. “Home made,” jawabnya. Rice menarik keluar dari api, umbi singkong yang sudah dia panggang, dikupasnya kulitnya dengan pisau kecil dan disajikannya dalam piring. “Dengan ini, pasti lebih nikmat,” Rice menyodorkan piring itu. “Dan ditambah ini,” ucap Rice lagi menyodorkan mangkuk.

“Ini apa?” tanya Shirley setelah melihat cairan kental kuning keemasan dalam mangkuk itu.

“Madu hutan,” jawab Rice.

“Kamu dapat dari mana? Siapa yang ngasih?”

“Di sana, di pohon besar itu ada sarangnya.”

“Caranya?”

“Panjat pohonnya, asapin sarangnya. Setelah lebahnya lari, sarangnya diambil, dipotong-potong lalu diperas.”

“Kamu pinter ya,” Shirley mengoles singkong panggang itu dengan madu dan menyantapnya. “Heaven,” ucapnya. “Mau lagi, dong…” Bagi Shirley, ini benar-benar suatu pengalaman baru yang menakjubkan.

Berbeda dari Rice, Shirley adalah anak kota kosmopolitan. Ia sama sekali tidak pernah masuk hutan. Gadis itu bahkan belum pernah melihat ayam jantan sebelum ia tiba di Kalimantan. “Mami, ada burung garuda,” katanya pada ibunya pada suatu pagi ketika ayam jantan tetangga berkokok.

Shirley lahir di New York pada waktu ayahnya menjadi staf KBRI di Amerika Serikat. Ayahnya adalah peranakan Jawa-Batak dan lahir di Medan sedangkan ibunya campuran Minahasa-Tionghoa-Belanda-Prancis-Irlandia. Variasi genetik ini barangkali berkontribusi pada keindahan fisik dan kecerdasannya. Pada usia lima tahun, ia kembali ke Jakarta, bersama ibunya. Ayahnya pindah tugas ke Australia.

Shirley tiba di Kalimantan, bersama ibunya, saat dia duduk di kelas 10 SMA. Ibunya adalah seorang dokter. Dokter Fani Eleanora namanya. Dokter Fani dan beberapa dokter lainnya datang ke Kalimantan bersama beberapa misionaris Fransiskan dari Jakarta. Mereka satu tim utusan Keuskupan Agung Jakarta untuk memberikan bantuan pelayanan rohani maupun jasmani bagi umat di pedalaman. Umat di Kalimantan tersebar hingga ke pelosok pedalaman. Beberapa dusun bahkan harus dikunjungi lewat sungai karena tidak terhubung ke jalan negara. Pada dusun lainnya, sejumlah ruas jalan belum dilapisi aspal dan berlumpur pada musim hujan. Waktu itu ayah Shirley sedang berdinas di Konsulat Jenderal RI di Sydney. Pekerjaannya di kementerian luar negeri sering memisahkannya dari keluarganya.

Malam semakin larut dan dingin. Shirley duduk di depan perapian itu sambil memeluk lututnya. Ia melirik ke arah Rice. Wajah pemuda itu diterpa cahaya api yang masih menyala. Shirley baru menyadari wajah cowok itu ternyata tampan dan manis. Terlalu sering menjadi pusat perhatian membuat dia lupa memperhatikan orang lain.

“Rice,” panggil Shirley pelan. “Aku boleh nanya nggak?”

Rice menoleh. “Boleh,” jawabnya.

“Kamu dikasih nama Rice. Kenapa?” tanya Shirley.

“Ayahku seorang petani. Baginya, padi sangat penting,” jawab Rice.

“Kenapa harus ‘Rice’? Kenapa nggak ‘Padi’ aja?”

“Seandainya ayahku bisa bahasa Arab, mungkin aku bakal dikasih nama Habbatu Aruzzi.”

“Jadi, ayah kamu bisa bahasa Inggris?”

“Nggak juga, sih,” Rice tertawa. Shirley juga tertawa.

“Kamu tau nggak?” tanya Rice kemudian.

“Enggak,” jawab Shirley cepat.

“Di kampung ayahku, aku dipanggil Ra-is.”

“Ra-is?”

“Iya. Lafalnya ‘Rais’ gitu. Amien Rais.”

Shirley tertawa lagi. “Ayah kamu bisa bahasa Latin ya?” tanya Shirley lagi.

“Enggak.”

“Buktinya, kamu dikasih nama Oriza.”

“Anak SMP juga tau kalo nama Latin untuk padi adalah Oriza Sativa.”

“Iya juga ya,” Shirley mengangguk. “Trus, Megadaya itu artinya apa?”

“Superpower. Oriza Rice Superpower,” jawab Rice mengangkat kedua lengannya yang tidak begitu berotot. “Setiap ayah pasti berharap anak laki-lakinya menjadi manusia kuat.”

Shirley tertawa lagi. Ia mendapatkan kembali keceriaannya. Berkali-kali Rice membuatnya tertawa.

“Kamu sendiri, namamu panjang amat. Kok bisa?” Rice balik bertanya.

“Sebenarnya lebih panjang lagi. Sebelum Norma ada nama Nief, N-I-A-M-H, dan sesudah Carmen ada nama marga Manurung.”

“N-I-A-M-H dibaca Nief? Unik ya. Kok nggak dipake?”

“Itu nama nenek Mami aku. Diambil dari bahasa Keltik. Beliau orang Irlandia. Nggak dipake karena pasti bakal bikin guru-guru bingung, ejaannya begini, lafalnya begitu. Nama marga ayahku juga nggak dipake. Aku nggak tau persis kenapa. Tapi mungkin lantaran aku anak cewek. Dalam sistem kekerabatan patrilineal, anak perempuan tidak dianggap meneruskan nama keluarga.”

Rice mengangguk-angguk mendengar penjelasan Shirley.

“Sekarang hampir jam dua belas. Sebenarnya aku masih pengen cerita-cerita sama kamu. Tapi kita harus istirahat. Simpan tenaga buat besok,” ucap Shirley.

Rice hanya mengangguk. Ia juga sebenarnya masih ingin berlama-lama bercengkerama dengan sang idola. Kendati demikian, ia sudah merasa sangat senang. Tak pernah ia sangka, ia mendapatkan kesempatan yang begitu istimewa.

Shirley kembali naik ke atas pondok. Ia merebahkan badannya yang lelah. Rice tetap tinggal di bawah. Ia duduk bersandar pada sebatang pohon tak jauh dari api yang masih menyala. Rice mulai memejamkan matanya. Shirley memandangnya dari atas. Ia merasa kasihan pada pemuda itu. “Rice,” panggilnya.

Rice membuka matanya dan menoleh ke arah Shirley.

“Kamu boleh kok tidur di atas,” kata Shirley.

“Aku di sini saja. Deket api. Enak, kok. Anget,” jawab Rice.

“Kamu nggak takut?” tanya Shirley. “Ini hutan, Rice. Gimana kalo gerombolan serigala menyerang selagi kamu tidur?”

“Di Kalimantan gak ada serigala.”

“Beruang? Banyak yang bilang populasi beruang cukup tinggi di kawasan ini.”

“Iya juga, ya,” Rice bergegas berdiri dan meninggalkan tempat duduknya.

“Tapi janji ya, Rice, kamu gak akan macam-macam sama aku,” kata Shirley selagi Rice naik tangga pondok itu.

“Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu. Emang aku cowok apaan?” kata Rice.

“Cowok normal,” jawab Shirley. “Cowok normal pasti menyukai cewek karena fisiknya. Bahkan mungkin punya fantasi yang liar,” Kata Shirley lagi.

“Fisik? Emang kamu cantik?” Rice balik bertanya dengan senyum di wajahnya.

“Aku nggak peduli apakah menurutmu aku cantik atau enggak,” jawab Shirley kesal. Itu kali pertama ada lelaki yang mempertanyakan kecantikannya. “Yang penting kamu gak bakal macam-macam sama aku,” lanjutnya lagi.

Rice tidak langsung menyahut. Ia sibuk menyiapkan tempat untuk berbaring di belakang Shirley. Ia menjaga jaraknya. Kira-kira dua meter.

“Aku normal,” Rice menjawab tenang sambil membaringkan badannya. “Kamu memang cantik. Tapi aku tidak berfantasi liar tentang dirimu. Percayalah. Aku akan jagain kamu, termasuk dari diri aku sendiri.”

“Kamu bakal jagain aku, termasuk dari diri kamu sendiri?”

“Ya.”

“So sweet. Tapi, kenapa?”

“Aku tidak mau merusak hidupmu dan masa depanmu.”

“Kenapa?”

“Merusak hidup seseorang sama saja dengan membunuh.”

“Oh. Begitu ya?”

“Iya. Lagi pula, kita harus belajar mengendalikan diri.”

“Kenapa?”

“Orang yang mampu mengendalikan diri sebelum menikah pasti mampu mengendalikan diri untuk tidak selingkuh setelah menikah.”

Shirley mulai kagum pada pemuda itu. Kebijaksanaannya melampaui usianya. Rice sepertinya berbeda dari pemuda lainnya. Shirley tidak mengenalnya karena da tidak pernah berusaha menarik perhatian Shirley. Rice seorang pendiam. Dia tidak banyak bicara tetapi terampil bekerja. Dia siap menghadapi situasi apapun dalam hidupnya. Dia tahu apa yang harus dikerjakan. Shirley membayangkan seandainya dia tidak bersama Rice saat itu mungkin dia tidur dengan perut kosong.

“Terima kasih, Rice. Sekarang aku benar-benar merasa aman,” ucap Shirley setelah terdiam beberapa saat. “Selamat malam. Selamat tidur,” Shirley membalikkan badannya membelakangi Rice lalu membenamkan kepalanya ke dalam sleeping bag itu.

“Selamat malam. Sleep well,” ucap Rice. Ia juga membelakangi Shirley.

                                              bersambung.....