5775
CERITA BERSAMBUNG
Hari itu hari
pertama tahun ajaran baru. Tawa ceria terdengar di sana sini. Para siswa sedang
merayakan perjumpaan setelah berlibur selama tiga pekan. Liburan itu terasa
panjang dan membosankan karena sekolah adalah tempat yang paling dirindukan.
Siswa-siswa baru sedang berbaris di lapangan memeragakan PBB, Peraturan Baris
Berbaris, salah satu materi Masa Orientasi Sekolah pada hari itu.
>>rice
Di
perpustakaan, suasana masih sepi. Rice adalah satu-satunya pengunjung pada pagi
itu. Ia agak berbeda dari siswa-siswa lain. Dia tidak begitu menikmati
keramaian. Kesenangannya ialah membaca buku-buku.
Rice
mengambil sebuah buku dari rak, lalu duduk menghadap jendela kaca. Matanya
menatap keluar. Cukup lama. Buku di atas meja baca tak kunjung ia baca. Itu
adalah kali pertama dalam hidupnya, ada objek lain yang lebih menarik dari pada
sebuah buku.
“Bukunya kok
nggak dibaca?” Dian, pustakawati sekolah, mencandainya setelah mengamatinya
selama beberapa menit. Rice cepat-cepat mengalihkan perhatiannya kembali pada
buku yang sudah terbuka di hadapannya. Wajahnya memerah. Terciduk sedang
memperhatikan seseorang membuatnya merasa malu. Ia memang seorang pemalu.
Agak jauh di
sana, di selasar kelas 12 IPA 1, berdiri seorang gadis bersama beberapa
temannya. Apa yang mereka sedang percakapkan tidak terdengar jelas. Sesekali
mereka tertawa. Suara tawanya yang merdu itu selaras dengan wajahnya yang
permai.
Dian mendekat
dan duduk di sampingnya. " Kamu suka ya sama Shirley ? " kembali Dian
mencandainya.
"Kak Dian
sotoy," Rice buru-buru membuka halaman-halaman buku di hadapannya. “Semua cewek
di sana cantik. Kok Shirley yang disebut?”
“ Jadi, bukan
Shirley nih yang kamu suka ? ” tanya Dian lagi.
Rice tidak
menjawab. Dia pura-pura menekuni buku bacaannya.
Shirley
adalah salah satu bintang sekolah itu. Pesona fisiknya luar biasa. Wajahnya
menyihir siapa saja yang memandangnya. Di kota kecil itu, dia menjadi buah
bibir tidak hanya di kalangan para pelajar, tetapi juga para orang tua. Selain
cantik, dia juga cerdas. Dia menyandang gelar Duta Lingkungan Hidup karena
gagasannya yang cemerlang tentang pengolahan sampah dan kefasihannya berbicara
dalam Bahasa Inggris dan beberapa bahasa lainnya. Dia ramah kepada siapa saja
dan tidak pernah bicara kasar.
Meskipun
begitu, Rice barangkali satu-satunya orang yang tak pernah berinteraksi
dengannya. Dengan kata lain, Rice adalah penggemar rahasianya.
Rice kembali
melayangkan pandangannya ke arah Shirley. Pesona gadis itu bagaikan magnet yang
membuat Rice tak bisa mengalihkan pandangannya darinya. Kebetulan yang
dipandangi juga sedang mengarahkan pandangan ke arah dia. Kali ini, sang idola
sendiri menangkap basah penggemarnya sedang memperhatikan dirinya. Rice
cepat-cepat mencari lagi kalimat terakhir yang dia baca pada buku itu.
OKTOBER 2008
Pada tanggal
dua, OSIS SMA Fajar Timur merancang kegiatan lintas alam untuk seluruh siswa.
Kegiatan itu akan dilaksanakan dua hari berikutnya, yakni tanggal empat, untuk
merayakan Pesta Santo Fransiskus Assisi, Pelindung sekolah itu dan juga
Pelindung lingkungan hidup. Para pelajar itu akan berjalan kaki melintasi
kawasan hutan lindung sebelum akhirnya berkemah. Mereka dibagi dalam beberapa
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 hingga 12 orang. Pembagian
kelompok itu dipajang pada papan informasi setiap kelas. Semua menyambut
gembira kegiatan itu.
Rice membaca pengumuman di papan informasi di depan kelasnya. “Mimpikah aku?” Rice berkata pada dirinya sendiri. Diusapnya matanya beberapa kali. Untuk kesekian kalinya dia membaca informasi itu. Rhinoplax Vigil, demikian nama kelompok itu, dan tepat di bawah nama NORMA WINSHIRLEY CASSANDRA CARMEN tertulis RICE ORIZA MEGADAYA, namanya sendiri. “Shirley satu kelompok denganku?” jantungnya mulai berdetak kencang memompa darah seakan-akan memberi energi untuk mengoyak waktu.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Ada sepuluh
bus yang mengangkut para siswa itu dari sekolah mereka menuju ke loket pintu
masuk hutan lindung. Kelompok Rhinoplax Vigil, bersama dua kelompok lainnya,
diangkut oleh bus yang terakhir. Setelah diturunkan dari bus, anak-anak itu
langsung memulai perjalanan melintasi alam sesuai rute yang telah ditentukan.
Ketua kelompok membawa peta dan kompas.
>>RICE
dan SHIRLEY
Setelah satu jam berjalan, ketua kelompok
memberi isyarat untuk berhenti. Masing-masing mencari tempat untuk duduk.
Mereka melepas lelah sejenak. Semuanya, kecuali Rice, tampak lelah. Rice bukan
orang kota. Kedua orang tuanya peladang. Mereka biasa pergi ke ladang dengan
berjalan kaki selama berjam-jam. Baginya, ini belum apa-apa.
Shirley duduk tak begitu jauh dari Rice. “Hai,”
dia menyapa Rice dengan senyum ramah. Rice salah tingkah sampai-sampai dia lupa
menjawab sapaan itu. “Sombong amat,” wajah Shirley seketika berubah cemberut.
Ia lalu meneguk air minum dari botolnya.
Benji, salah satu anggota kelompok itu, adalah
anak yang terkenal iseng. Selama istirahat dia tidak berhenti mengoceh.
Teman-temannya menertawai dia karena lawakannya tak kalah lucu dari komik Cak
Lontong. Setelah dia sendiri lelah, dia duduk. “Kita semua sebelas orang,”
katanya memulai lagi bualannya. “Empat cowok, tujuh cewek. Kia, Rice dan Roy
masing-masing boleh menculik dua cewek. Tapi yang diculik bukan Shirley ya,
karena Shirley sepertinya diciptakan buat aku,” ucapnya langsung mengambil
tempat duduk dekat Shirley.
Shirley pindah tempat duduk semakin dekat
dengan Rice.
“Shirley, untuk mendapatkanmu, jangankan
mendaki gunung dan menyeberangi lautan, lebah pun akan aku sengat untukmu,”
Benji mengucapkan kata-kata gombalnya.
“Tuh lebah. Sengat kalo berani,” ucap Fiona
mengacungkan tangannya ke sarang lebah yang menempel pada dahan salah satu
pohon.
Benji mengangkat wajahnya searah tangan Fiona.
“Shirley, akan aku persembahkan madunya untukmu,” ucapnya sambil mengedipkan
sebelah matanya ke arah Shirley. Shirley hanya tersenyum.
Benji memungut potongan kayu.
“Kamu mau ngapain, Benji?” Rice yang sebelumnya
diam tiba-tiba bersuara. Ia cemas melihat gelagat temannya yang over-acting
itu. ”Bukan begitu caranya mendapatkan madu lebah,” lanjutnya lagi.
“Udah, diam aja. Perhatikan bagaimana abang
bekerja. Okay?” Benji melempari sarang lebah itu. Ratusan lebah berdengung
berhamburan keluar sarang dan mulai menyerang.
Anak-anak itu lari menghindari sengatan. Rice
dan Shirley juga berlari sekuat tenaga. Shirley bukan seorang pelari. Akan
tetapi, kepanikan dan ketakutan menghasilkan energi sedemikian rupa. Ia
ternyata telah berlari jauh ke dalam hutan.
“Aduh, kita di mana?” Shirley berhenti lalu
memegang perutnya setelah beberapa lama berlari. Rice yang berada beberapa
langkah di depannya juga berhenti, melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.
“Kita di mana?” tanya Shirley lagi dengan nafas masih terengah-engah. Rice
menggeleng. “Aku tidak tahu,” jawabnya.
“Gimana, dong?” Shirley mulai panik. Wajahnya
meringis. Ia baru sadar tangannya perih karena tergores semak-semak.
“Kita jalan ke arah sana. Mudah-mudahan kita
menemukan jalan,” Rice berusaha menjawab dengan tenang.
“Kamu jangan jauh-jauh ya. Aku takut,” Shirley
bergegas mengikuti Rice dari belakang.
Setelah berjalan menerobos semak-semak, mereka
menemukan jalan setapak. Mereka menyusuri jalan itu.
“Rice,” panggil Shirley. Rice berhenti. “Aku
haus,” kata Shirley lagi.
Rice menyerahkan botol minumannya untuk
Shirley. Shirley minum.
“Aku nggak tau botol minumanku jatuh di mana,”
Shirley mengembalikan botol minuman itu. “Terima kasih,” ucapnya. Rice
mengangguk.
Setelah berjalan lagi, mereka menemukan
persimpangan.
“Kita mesti ke mana? Kiri atau kanan?” tanya
Shirley.
“Kita istirahat dulu di sini. Siapa tahu ada
orang di belakang kita,” jawab Rice. Shirley menurut. Ia segera mencari tempat
untuk duduk. Setelah satu jam, tak seorang pun lewat di sana. Akhirnya, Rice
berdiri. “Kita ambil jalan ke kanan. Mudah-mudahan jalan ini membawa kita ke
jalan raya,” ucapnya.
Shirley tidak punya pilihan selain mengikuti
kata-kata Rice. Beberapa jam lamanya mereka berjalan. Mereka tidak menemukan
jalan raya maupun teman-teman mereka. Mereka sadar, mereka sudah tersesat.
“Aduh… Bagaimana ini?” Shirley mulai menangis.
Ia ketakutan.
“Kita harus terus berjalan,” Rice berusaha
tetap tenang.
Shirley mengusap air matanya. Keduanya kembali
berjalan.
Hari semakin senja. Hutan itu semakin gelap.
Cahaya matahari tidak lagi mampu menembus rindangnya pepohonan. Suara serangga
dan satwa lainnya semakin ramai. Sayup-sayup terdengar desau air sungai.
Mereka tiba di tepi sungai. Di tepi jalan
setapak ada sebuah pondok. Tepi sungai itu masih cukup terang karena
pohon-pohon tidak menutupinya. Hamparan batu koral yang cukup luas membuat
tempat itu begitu indah. “Sebaiknya kita berhenti di sini,” Rice melepaskan
ranselnya yang berat.
“Bermalam di sini?” suara Shirley meninggi.
“Mau gimana lagi? Mau berenang?”
“Tempatnya bagus sih,” Shirley memandang
sekeliling. “Tapi lu jangan macem-macem ya ama gue?” katanya pada Rice. Shirley
naik ke atas pondok itu. Atap pondok terbuat dari daun sagu. Lantainya tersusun
dari bambu-bambu bulat. Pondok itu tak berdinding.
Rice menyalakan api. Sesudah itu ia mencari
batang-batang bambu dan membersihkan ruasnya di sungai. Ia memasak air dan nasi
menggunakan ruas bambu-bambu itu. Kemudian, Rice mengeluarkan perbekalan dari
ranselnya. Isi ranselnya lengkap. Ia tak lupa membawa garam dan bumbu masakan.
Dia juga membawa dua kaleng ikan sardine. Bahan-bahan makanan itu dimasukkan
juga ke dalam ruas bambu untuk dimasak.
Tidak lama kemudian, air di dalam bambu meluap.
Nasi juga sudah masak. Rice mengeluarkan perlengkapan makan: piring, mangkuk
dan sendok.
Melihat Rice sibuk bekerja, Shirley turun dari
pondok untuk membantu. “Sebenarnya isi ranselku juga lengkap. Ada roti, keju,
susu. Ada camping kits. Tapi aku meninggalkannya di tempat kita istirahat tadi.
Sialan tuh Si Benji. Iseng banget,” Shirley mengenang kejadian beberapa jam
sebelumnya. Dia membantu Rice menyiapkan semua bahan makanan itu. Dia biasa
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ibunya sering tidak berada di rumah.
Setelah semua bahan makanan siap, mereka berdua
makan bersama malam itu. “Biar aku cuci piringnya,” ucap Shirley setelah mereka
selesai makan.
“Baik. Aku pegang lampunya,” jawab Rice.
Mereka turun ke sungai. Shirley mencuci semua
perlengkapan makan itu, sedang Rice memegang lampu untuk meneranginya.
Malam itu tenang. Langit pun cerah. Padahal,
waktu itu adalah musim hujan.
“Sekarang hampir jam delapan. Sebaiknya kamu
tidur. Kamu boleh pakai sleeping bag aku,” kata Rice.
“Kamu sendiri pakai apa?” tanya Shirley.
“Jaketku lumayan tebal. Ditambah mantel, aku
nggak bakal kedinginan. Aku juga punya lotion untuk mencegah gigitan nyamuk,”
jawab Rice.
“Terima kasih ya, Rice, kamu baik banget,” ucap
Shirley sambil melangkah naik ke atas pondok.
Walaupun telah berbaring hampir selama satu
jam, Shirley belum bisa tidur. Ia mengeluarkan kepalanya dari sleeping bag itu.
Ia tidak melihat Rice di tempat duduknya semula.
“Rice, kamu di mana?” panggil Shirley.
“Aku di sini,” suara Rice terdengar agak jauh.
Sosok Rice kemudian samar-samar terlihat keluar
dari dalam semak-semak. Rice mendekati perapian.
Shirley segera turun dari pondok dan mendekati
perapian itu. “Kamu dari mana aja? Kok nggak ngasih tahu aku pergi ke mana?” ia
bertanya.
“Nyari singkong. Aku nggak mau ganggu kamu lagi
tidur. Lagian aku perginya nggak jauh, kok,” jawab Rice. “Kopi?” Rice menyodorkan
secawan kopi panas.
Shirley mengangguk dan menerimanya. “Terima
kasih,” ucapnya. Shirley menghirup aroma kopi itu. “Kopinya enak banget.
Robusta, ya?”
Rice mengangguk. “Home made,” jawabnya. Rice
menarik keluar dari api, umbi singkong yang sudah dia panggang, dikupasnya
kulitnya dengan pisau kecil dan disajikannya dalam piring. “Dengan ini, pasti
lebih nikmat,” Rice menyodorkan piring itu. “Dan ditambah ini,” ucap Rice lagi
menyodorkan mangkuk.
“Ini apa?” tanya Shirley setelah melihat cairan
kental kuning keemasan dalam mangkuk itu.
“Madu hutan,” jawab Rice.
“Kamu dapat dari mana? Siapa yang ngasih?”
“Di sana, di pohon besar itu ada sarangnya.”
“Caranya?”
“Panjat pohonnya, asapin sarangnya. Setelah
lebahnya lari, sarangnya diambil, dipotong-potong lalu diperas.”
“Kamu pinter ya,” Shirley mengoles singkong
panggang itu dengan madu dan menyantapnya. “Heaven,” ucapnya. “Mau lagi, dong…”
Bagi Shirley, ini benar-benar suatu pengalaman baru yang menakjubkan.
Berbeda dari Rice, Shirley adalah anak kota kosmopolitan.
Ia sama sekali tidak pernah masuk hutan. Gadis itu bahkan belum pernah melihat
ayam jantan sebelum ia tiba di Kalimantan. “Mami, ada burung garuda,” katanya
pada ibunya pada suatu pagi ketika ayam jantan tetangga berkokok.
Shirley lahir di New York pada waktu ayahnya
menjadi staf KBRI di Amerika Serikat. Ayahnya adalah peranakan Jawa-Batak dan
lahir di Medan sedangkan ibunya campuran
Minahasa-Tionghoa-Belanda-Prancis-Irlandia. Variasi genetik ini barangkali
berkontribusi pada keindahan fisik dan kecerdasannya. Pada usia lima tahun, ia
kembali ke Jakarta, bersama ibunya. Ayahnya pindah tugas ke Australia.
Shirley tiba di Kalimantan, bersama ibunya,
saat dia duduk di kelas 10 SMA. Ibunya adalah seorang dokter. Dokter Fani Eleanora
namanya. Dokter Fani dan beberapa dokter lainnya datang ke Kalimantan bersama
beberapa misionaris Fransiskan dari Jakarta. Mereka satu tim utusan Keuskupan
Agung Jakarta untuk memberikan bantuan pelayanan rohani maupun jasmani bagi
umat di pedalaman. Umat di Kalimantan tersebar hingga ke pelosok pedalaman.
Beberapa dusun bahkan harus dikunjungi lewat sungai karena tidak terhubung ke
jalan negara. Pada dusun lainnya, sejumlah ruas jalan belum dilapisi aspal dan
berlumpur pada musim hujan. Waktu itu ayah Shirley sedang berdinas di Konsulat
Jenderal RI di Sydney. Pekerjaannya di kementerian luar negeri sering
memisahkannya dari keluarganya.
Malam semakin larut dan dingin. Shirley duduk
di depan perapian itu sambil memeluk lututnya. Ia melirik ke arah Rice. Wajah
pemuda itu diterpa cahaya api yang masih menyala. Shirley baru menyadari wajah
cowok itu ternyata tampan dan manis. Terlalu sering menjadi pusat perhatian
membuat dia lupa memperhatikan orang lain.
“Rice,”
panggil Shirley pelan. “Aku boleh nanya nggak?”
Rice menoleh.
“Boleh,” jawabnya.
“Kamu dikasih
nama Rice. Kenapa?” tanya Shirley.
“Ayahku
seorang petani. Baginya, padi sangat penting,” jawab Rice.
“Kenapa harus
‘Rice’? Kenapa nggak ‘Padi’ aja?”
“Seandainya
ayahku bisa bahasa Arab, mungkin aku bakal dikasih nama Habbatu Aruzzi.”
“Jadi, ayah
kamu bisa bahasa Inggris?”
“Nggak juga,
sih,” Rice tertawa. Shirley juga tertawa.
“Kamu tau
nggak?” tanya Rice kemudian.
“Enggak,”
jawab Shirley cepat.
“Di kampung
ayahku, aku dipanggil Ra-is.”
“Ra-is?”
“Iya. Lafalnya
‘Rais’ gitu. Amien Rais.”
Shirley
tertawa lagi. “Ayah kamu bisa bahasa Latin ya?” tanya Shirley lagi.
“Enggak.”
“Buktinya,
kamu dikasih nama Oriza.”
“Anak SMP
juga tau kalo nama Latin untuk padi adalah Oriza Sativa.”
“Iya juga
ya,” Shirley mengangguk. “Trus, Megadaya itu artinya apa?”
“Superpower.
Oriza Rice Superpower,” jawab Rice mengangkat kedua lengannya yang tidak begitu
berotot. “Setiap ayah pasti berharap anak laki-lakinya menjadi manusia kuat.”
Shirley
tertawa lagi. Ia mendapatkan kembali keceriaannya. Berkali-kali Rice membuatnya
tertawa.
“Kamu
sendiri, namamu panjang amat. Kok bisa?” Rice balik bertanya.
“Sebenarnya
lebih panjang lagi. Sebelum Norma ada nama Nief, N-I-A-M-H, dan sesudah Carmen
ada nama marga Manurung.”
“N-I-A-M-H
dibaca Nief? Unik ya. Kok nggak dipake?”
“Itu nama
nenek Mami aku. Diambil dari bahasa Keltik. Beliau orang Irlandia. Nggak dipake
karena pasti bakal bikin guru-guru bingung, ejaannya begini, lafalnya begitu.
Nama marga ayahku juga nggak dipake. Aku nggak tau persis kenapa. Tapi mungkin
lantaran aku anak cewek. Dalam sistem kekerabatan patrilineal, anak perempuan
tidak dianggap meneruskan nama keluarga.”
Rice
mengangguk-angguk mendengar penjelasan Shirley.
“Sekarang
hampir jam dua belas. Sebenarnya aku masih pengen cerita-cerita sama kamu. Tapi
kita harus istirahat. Simpan tenaga buat besok,” ucap Shirley.
Rice hanya
mengangguk. Ia juga sebenarnya masih ingin berlama-lama bercengkerama dengan
sang idola. Kendati demikian, ia sudah merasa sangat senang. Tak pernah ia sangka,
ia mendapatkan kesempatan yang begitu istimewa.
Shirley
kembali naik ke atas pondok. Ia merebahkan badannya yang lelah. Rice tetap
tinggal di bawah. Ia duduk bersandar pada sebatang pohon tak jauh dari api yang
masih menyala. Rice mulai memejamkan matanya. Shirley memandangnya dari atas.
Ia merasa kasihan pada pemuda itu. “Rice,” panggilnya.
Rice membuka
matanya dan menoleh ke arah Shirley.
“Kamu boleh kok tidur di atas,” kata Shirley.
“Aku di sini saja. Deket api. Enak, kok.
Anget,” jawab Rice.
“Kamu nggak takut?” tanya Shirley. “Ini hutan,
Rice. Gimana kalo gerombolan serigala menyerang selagi kamu tidur?”
“Di Kalimantan gak ada serigala.”
“Beruang? Banyak yang bilang populasi beruang
cukup tinggi di kawasan ini.”
“Iya juga, ya,” Rice bergegas berdiri dan
meninggalkan tempat duduknya.
“Tapi janji ya, Rice, kamu gak akan macam-macam
sama aku,” kata Shirley selagi Rice naik tangga pondok itu.
“Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu. Emang aku
cowok apaan?” kata Rice.
“Cowok normal,” jawab Shirley. “Cowok normal
pasti menyukai cewek karena fisiknya. Bahkan mungkin punya fantasi yang liar,”
Kata Shirley lagi.
“Fisik? Emang kamu cantik?” Rice balik bertanya
dengan senyum di wajahnya.
“Aku nggak peduli apakah menurutmu aku cantik
atau enggak,” jawab Shirley kesal. Itu kali pertama ada lelaki yang
mempertanyakan kecantikannya. “Yang penting kamu gak bakal macam-macam sama
aku,” lanjutnya lagi.
Rice tidak langsung menyahut. Ia sibuk
menyiapkan tempat untuk berbaring di belakang Shirley. Ia menjaga jaraknya.
Kira-kira dua meter.
“Aku normal,” Rice menjawab tenang sambil
membaringkan badannya. “Kamu memang cantik. Tapi aku tidak berfantasi liar
tentang dirimu. Percayalah. Aku akan jagain kamu, termasuk dari diri aku
sendiri.”
“Kamu bakal jagain aku, termasuk dari diri kamu
sendiri?”
“Ya.”
“So sweet. Tapi, kenapa?”
“Aku tidak mau merusak hidupmu dan masa
depanmu.”
“Kenapa?”
“Merusak hidup seseorang sama saja dengan
membunuh.”
“Oh. Begitu ya?”
“Iya. Lagi pula, kita harus belajar
mengendalikan diri.”
“Kenapa?”
“Orang yang mampu mengendalikan diri sebelum
menikah pasti mampu mengendalikan diri untuk tidak selingkuh setelah menikah.”
Shirley mulai kagum pada pemuda itu.
Kebijaksanaannya melampaui usianya. Rice sepertinya berbeda dari pemuda
lainnya. Shirley tidak mengenalnya karena da tidak pernah berusaha menarik
perhatian Shirley. Rice seorang pendiam. Dia tidak banyak bicara tetapi
terampil bekerja. Dia siap menghadapi situasi apapun dalam hidupnya. Dia tahu
apa yang harus dikerjakan. Shirley membayangkan seandainya dia tidak bersama
Rice saat itu mungkin dia tidur dengan perut kosong.
“Terima kasih, Rice. Sekarang aku benar-benar
merasa aman,” ucap Shirley setelah terdiam beberapa saat. “Selamat malam.
Selamat tidur,” Shirley membalikkan badannya membelakangi Rice lalu membenamkan
kepalanya ke dalam sleeping bag itu.
“Selamat malam. Sleep well,” ucap Rice. Ia juga
membelakangi Shirley.
bersambung.....