Rm. Andreas Setyawan, SJ
Tulisan ini sebagai Bahan Pelatihan Bagi Para Pendamping OMK di SAV (Studio Audio Visual) di Yogakarta, baik di sekolah maupun Paroki.
Bagaimana memberi kedalaman pada media yang bertendensi menawarkan kedangkalan? Mungkinkah orang muda yang sangat akrab dengan media melirik kedalaman hidup? Bagaimana caranya menarik orang muda masuk ke kedalaman di tengah gempuran media yang semakin sophisticated? Metodologi macam apakah yang tepat dipakai untuk pendampingan iman OMK zaman ini? Ini adalah beberapa pertanyaan yang melatarbelakangi draf tulisan singkat ini, tetapi karena topik yang terungkap dalam judul mengacu pada prasyarat pelaksanaan pendampingan iman OMK, pembahasan literasi media di sini hanya akan menyangkut asumsi-asumsi dasarnya.
Sekarang ini cliché dikatakan bahwa kita dibentuk oleh media, meskipun sebetulnya tidak setiap orang sadar diri sebagai makhluk yang selalu dibentuk oleh media dalam keseharian. Dulu orang akrab dengan budaya oral para story teller ketika orang mengandalkan pendengaran, atau fresco dan lukisan religius dalam budaya visual, atau drama dan novel rohani dalam budaya melek huruf, atau film dan televisi pada saat budaya audio-visual berkembang. Sekarang ini, setelah teknologi komunikasi berkembang, media yang membentuk kita adalah media sosial yang sangat potensial menggabungkan budaya audio-visual itu secara lebih intensif dan ekstensif.
Insight dasar teologis tulisan ini ialah bahwa Kristus, sebagai medium Allah, mengejawantahkan belas kasih Allah dalam dunia. Medium itu bukan hanya pesan dan isi, melainkan lebih radikal lagi, medium itu adalah dinamika hidup orang beriman sendiri dalam koneksinya dengan Kristus. Mengapa dihubungkan dengan Kristus sebagai medium Allah itu? Karena Dialah Sabda Allah yang hidup di dunia, Dialah pribadi yang secara definitif merepresentasikan kualitas yang disebut Ignasius Loyola sebagai contemplative in action. Di situ, imajinasi dalam doa mendapat tempat sentralnya, dan persis media sosial adalah pasar imajinasi yang signifikan bagi dorongan orang untuk membangun dunia secara tertentu.
Literasi media sangat diperlukan supaya orientasi pembangunan dunia dalam inflasi media sosial itu sinkron dengan orientasi Kristus sebagai medium Allah, supaya kehadiran media sosial sejalan dengan pengejawantahan belas kasih Allah dalam dunia. Untuk itu, beberapa landasan pemikiran perlu sungguh-sungguh diperhatikan:
· Cara berpikir relasional lebih menolong daripada cara berpikir dualistik (subjek-objek di mana subjek mendapat tempat mutlak, bdk. cogito ergo sum yang dipopulerkan Rene Descartes). Cara berpikir dualistik itu tak ayal lagi adalah cara berpikir yang melahirkan teknologi, dan dengan demikian juga media sosial, tetapi karena orang tak lagi kritis terhadap cara berpikirnya sendiri, orang tertelan oleh teknologi ciptaannya sendiri, tergilas oleh mesin buatannya sendiri, atau terkubur oleh mimpinya sendiri.
· Kerendahan hati epistemologis mutlak diperlukan dalam cara berpikir relasional, yaitu, tak seorang pun dapat mengklaim kemutlakan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan dibangun dalam hubungan sumber-sumber pengetahuan yang tidak lagi dapat dimonopoli oleh satu kelompok orang, satu generasi, satu ras, dan sebagainya. Dengan demikian, kategori pendampingan iman OMK tidak dapat memosisikan relasi timpang orang tua dan orang muda, seakan-akan sumber pengetahuan hanya ada pada orang muda (karena dianggap sebagai native digital) atau sebaliknya, seakan-akan orang tua yang punya asam garam pengalaman hidup sungguh memiliki pengetahuan mutlak akan iman atau kehidupan itu sendiri.
Jika dua landasan pemikiran itu tidak sungguh menjadi landasan, pendampingan iman OMK menemui jalan buntu karena relasi timpang yang dibangun dalam pendampingan itu senantiasa menempatkan orang muda sebagai orang baru sementara pendampingnya sudah dianggap sebagai alter Christus. Di penghujung pendampingan seperti ini, yang terjadi adalah transfer pengetahuan yang bisa jadi sudah sangat out of date dan Kristus sendiri mungkin sudah beranjak pergi dari medium pendampingan seperti itu. Yang didampingi tidak tertarik, yang mendampingi frustrasi. Untuk menghindari hal itu, barangkali perlu juga direfleksikan beberapa kenyataan yang lebih konstruktif dalam pendampingan OMK.
Mengapa kita keranjingan media sosial? Kita ingin dihibur, diberi informasi, suka pada orang dan tokoh di dalamnya, kepo dan lain sejenisnya. Itu jawaban spontan, tetapi kalau kita pertimbangkan sungguh-sungguh, kita lihat alasan-alasan itu berakar pada pengalaman dasar manusia yang merupakan ungkapan hasrat manusia akan suatu transendensi-diri. Hasrat dihibur, misalnya, berasal dari upaya untuk lari dari kebosanan, perangkap dalam diri sendiri. Hasrat akan informasi berasal dari keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Menjadi fan atau follower orang atau tokoh sosial tertentu merupakan keterlibatan akan bentuk identifikasi melalui idealisasi kerinduan religius kita.
Jenis media atau genre media, kalau bisa dibuat kategori seperti itu, menunjukkan dorongan dasar seseorang. Film atau game detektif menunjukkan hasrat bawaan akan keteraturan; film horor memungkinkan kita menghadapi ketakutan akan kekuatan tak dikenal yang bisa merusak kita; kisah cinta menegaskan kekuatan relasi untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas. Kalau orang pergi ke bioskop dengan teman atau melakukan permainan berjejaring, ia melihat media sebagai tempat perayaan komunitas dan dari perayaan itu orang bisa jadi, sadar atau tidak, kreatif, atentif dan bertanggung jawab. Media sosial lalu bisa jadi Gereja kontemporer, sejauh orang kritis terhadap karakteristik media sosial.
Media sosial, seperti bioskop, berarsitektur teater yang sifatnya eklesial juga: individual sekaligus komunal. Orang duduk atau berdiri atau memosisikan diri dengan cara lainnya di ruang suci yang dibedakan dari dunia sehari-hari dengan manipulasi ruang-waktu. Di bioskop, seperti halnya media sosial, tak ada siang atau malam. Media sosial, sebagaimana film di bioskop, punya waktunya sendiri. Apa yang terjadi ditentukan oleh apa yang ditindakkan di depan indra kita. Baik konteks dan siapa diri kita yang kita lihat di sana secara teknis didesain untuk terlibat dan memfokuskan semua indera kita dalam cara yang secara bebas, aktif dan selektif.
Display adapter dalam gawai atau proyektor melemparkan ilusi gerakan dan secara kreatif pikiran mentransformasi ilusi itu dalam kemiripan realitas, dan tiap orang mengambil peran kritis untuk mengevaluasi apa yang diimajinasikan. Realisme bukanlah realitasnya sendiri, melainkan konvensi budaya. Maka, bisa terjadi konflik interpretasi dan sensor politik bisa sedemikian dominan. Terlepas dari isu interpretasi itu ada pertanyaan lebih luas mengenai bagaimana yang dilihat itu tercipta: produksi nilai, plot, karakter, teknik untuk menggambarkan konvensi realitas yang bisa diterima pendengar dan penonton. Proses itu identik dengan bagaimana penikmat media sosial menafsirkan data mentah dari layar medsos itu.
Proses itu adalah proses kreatif dan problem keterlibatan dalam media sosial itu adalah soal sifat kontemplasi dalam aksi. Ini adalah pandangan yang lebih luas mengenai literasi media. Literasi media adalah keahlian dalam membaca dan memahami media yang didasarkan pada premis bahwa media bukanlah instrumen transparan yang menyalurkan pesan objektif dari pengirim ke penerima. Sebaliknya, setiap instrumen terbentuk oleh baik pengirim maupun penerima dan memanipulasi data yang diprosesnya. Literasi media mengajari kita bahwa yang ditampilkan tidaklah objektif nyata begitu saja. Apa yang ditunjukkan, bagaimana ditunjukkan, apa yang diterima dan bagaimana itu diterima, semuanya adalah produk imajinasi kreatif.
Ketika Tuhan berkomunikasi dengan kita, dinamika imajinasi seperti itu berperan. Bisa jadi kesadaran media adalah kesadaran spiritual. Mediumnya ialah komunikasi diri Allah kepada kita, “Sabda menjadi daging”, melalui kerja imajinasi. Allah kreatif; imajinasi pun kreatif; dan kita juga kreatif. Dalam literasi spiritual, kreativitas-kreativitas itu bergabung dalam tindak kontemplasi. Sebaliknya, jika orang tak punya literasi spiritual, ia cuma punya konsep waktu linear dan nuansa ketakterelakkan. Film, misalnya, meskipun bergerak maju, tidak bekerja dengan konsep waktu linear. Ada flashback, kebersamaan, cross-cutting, reversals, overlays, perubahan perspektif, waktu, pencahayaan, tone – semuanya menciptakan sense pluralitas yang terbuka pada pemahaman dan penggambaran Allah yang tidak monolitik tanpa variasi. Akibatnya, semua bisa tampak seperti chaos. Untuk membaca pola dalam chaos itu diperlukan literasi spiritual.
Dengan literasi spiritual, kita mendapati bahwa kita lebih dari siapa atau apa yang kita pikirkan. Perjalanan ziarah masuk pada tabir yang belum kita kenal itu difasilitasi media yang kita lihat. Kita mengamati dan merefleksikan tindakan dan pilihan tokoh yang menarik perhatian dan dunia mereka. Kita juga merefleksikan bagaimana tokoh-tokoh dan dunia itu ditampilkan. Dari perjumpaan dengan apa yang kita kontemplasikan, kita membentuk hidup kita dan konteksnya. Kontemplasi seperti ini adalah literasi spiritual dan ini lebih berkenaan dengan keterlibatan dan komitmen daripada tontonan atau pertunjukan. Bagaimana cara kerjanya?
Melihat media seperti klip video atau film adalah tindak kontemplatif. Dalam kontemplasi, Anda membuka diri pada apa yang Anda kontemplasikan, sebagaimana apa yang Anda kontemplasikan membuka dirinya terhadap Anda. Dalam perjumpaan itu, keduanya berubah. Dalam kontemplasi Ignasian, Anda mengambil teks kitab suci dan masuk dalam tindakan. Ada tingkat-tingkat keterlibatan seperti juga tingkatan dalam melihat media. Anda bisa menjadi penonton yang semakin terlibat ketika secara emosional Anda jadi bagian dari aksi (ikut menangis, geram, kecewa). Pada tingkat yang lebih dalam lagi, Anda juga bisa sedemikian tergerak sehingga pengalaman menjadi mendalam dan transformatif.
Dalam semua tingkat itu, energi kreatif imajinasi melingkupi seluruh pribadi, yang berbeda dari fantasi dan mimpi siang bolong, yang keterlibatannya terbatas dan dangkal. Kita berhasrat untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, dalam doa, Tuhan pun berhasrat untuk kontak dengan kita. Dalam doa itu, kreativitas manusia bertemu dengan kreativitas ilahi melalui imajinasi. Ketika orang menggunakan media sebagai doa, hal yang sama terjadi. Dalam tindak saling hadir itu, penonton mengalami sebuah kisah yang menggali kemungkinan dalam sebuah konteks terbatas dan mengejawantahkan nilai dalam tindakan dan pilihan-pilihan seturut intensitas konsolasi atau desolasinya.
Dalam Latihan Rohani Ignasius Loyola, istilah itu dipakai secara berbeda seturut keadaan pribadi seseorang. Mereka yang gembira dalam hidup egosentis akan mengalami konsolasi ketika punya kesempatan untuk hidup egois. Akan tetapi, mereka yang mencoba melepaskan diri dari selfishness akan mengalami desolasi sebagai pergulatan melawan kebiasan yang menyenangkan tapi tak membebaskan. Begitulah konsolasi-desolasi dipakai bagi orang yang berorientasi terhadap kepentingan diri mereka sendiri. Bagi mereka yang orientasinya jauh dari egosentrisme konsolasi dialami ketika bergerak pada yang baik dan yang lebih baik lagi, tetapi desolasi ketika menolak yang lebih baik.
Baik konsolasi maupun desolasi bukanlah perasaan. Keduanya adalah petunjuk arah berdasarkan sikap dasar kita sendiri. Kalau dasarnya egois, melihat hal yang lebih baik akan menyebabkan desolasi. Sebaliknya, kalau dasarnya altruis, menatap yang lebih baik menyebabkan konsolasi. Maka, pendampingan OMK tak punya tujuan di luar kerangka penemuan siapa diri kita (masing-masing) dan kemudian membantu kita untuk melihat arah mana yang sedang kita tuju, dan membantu kita memahami langkah selanjutnya.
Ketika orang menghadapi media, yang dirasakannya bergantung pada komitmen dasarnya. Media menunjukkan kepada kita siapa diri kita. Dengan media, kita punya kesempatan untuk melihat diri kita dalam dua cara mendasar. Pertama, dalam media itu kepada kita ditunjukkan tampilan hidup yang berinteraksi dengan horison kesadaran kita. Kita mulai dengan apa yang kita ketahui, kemudian ada yang kita sadari bahwa kita tidak mengetahuinya, kemudian apa yang kita tidak ingin tahu, dan lalu apa yang kita tak tahu apa yang tidak kita ketahui. Khususnya dalam video atau film, lebih daripada media lain, kita berhadapan dengan diversitas itu. Melalui kontak itu kita dapati dunia kita meluas, mengatasi perhatian dan kepentingan kita.
Kedua, media yang kita lihat mengaduk oposisi konsolasi-desolasi dalam diri kita. Dua mode relasi ini menyatakan kepada kita di mana dan bagaimana kita disituasikan dalam jalan menuju transendensi-diri ketika kita mendekati media sebagai tindak kontemplatif. Misalnya, sebuah iklan bisa membawa kita berhadapan dengan tingkat penipuan diri (personal, politis, militer, religius, kultural) yang endemik dalam masyarakat kita. Dari situ, kita dapat semakin mengenali diri atas dasar kecenderungan yang dapat dievaluasi dengan petunjuk arah konsolasi-desolasi tadi. Meskipun demikian, baik juga diperhatikan konsep kunci mengenai literasi media.
Membaca media (sosial) dengan menggunakan teknik kesadaran rohani kiranya menjadi tugas bukan hanya kaum profesional, akademisi atau religius. Pembacaan ini didasarkan pada teknik kesadaran media yang kita serap dengan merefleksikan apa yang kita lihat dalam budaya media yang kita hidupi sekarang ini. Delapan konsep kunci ini menyediakan dasar teoretis bagi semua literasi media, dan memberi bahasa dan kerangka umum untuk diskusi media.
1. Semua media adalah konstruksi. Media tidak begitu saja mencerminkan realitas eksternal seperti cermin memantulkan apa saja yang ada di depannya, atau seperti kaca akuarium yang mengizinkan mata kita memandang seisi akuarium. Barangkali kalau dianalogikan secara kasar, media itu seperti suryakanta yang memperbesar bagian tertentu sementara bagian lain tak terbaca. Media secara hati-hati menampilkan konstruksi yang melibatkan banyak keputusan dan merupakan hasil banyak faktor penentu. Kesadaran media bekerja sebaliknya: membongkar konstruksi tersebut, yaitu mengkaji bagaimana media dibuat sedemikian sehingga kita tidak menerimanya mentah-mentah. Proyek imajinasi kreatif dan persepsi kita terjadi dengan cara yang mirip, disiplin rohani kontemplasi dan refleksi membebaskan orang dari jerat kekuatan-kekuatan yang menentukan apa yang kita lihat dan imajinasikan dan mengevaluasi secara spontan aksi-aksi yang tampak alamiah dalam media itu.
2. Media membangun aspek realitas. Media bertanggung jawab atas kebanyakan pengamatan dan pengalaman yang kita pakai untuk membantun pemahaman dunia kita dan bagaimana itu terjadi. Banyak pandangan kita terhadap kenyataan didasarkan pada pesan media dengan sikap, tafsir dan kesimpulan yang sudah built-in di dalamnya. Maka, media secara umum memberi sense akan kenyataan kepada kita. Pada kenyataannya, media juga memberi kita sense kerohanian, tetapi harus diingat bahwa kerohanian bersifat dinamis dan memiliki potensi 'menentang'. Sifat ini bersitegang dengan konstruksi media, sebagaimana sifat Allah juga bisa bersitegang dengan ciptaan.
3. Audiens menegosiasi makna dalam media. Jika media menyediakan banyak material yang kita pakai untuk membangun gambaran kenyataan kita, masing-masing dari kita menemukan atau “menegosiasi” makna seturut faktor individual: kebutuhan dan kecemasan pribadi, kesenangan atau kesulitan harian, sikap rasial dan seksual, latar belakang keluarga dan budaya, pijakan moral, dan sebagainya. Kesadaran rohani menguji dinamika mediasi itu dalam terang konsolasi dan desolasi kita sendiri, yang menyatakan dalam cara intim relasi kita dengan misteri yang kita sebut Allah.
4. Pesan media berimplikasi komersial. Literasi media bertujuan mendorong kesadaran mengenai bagaimana media dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan komersial, dan bagaimana ini akhirnya menekan pengaruh terhadap isi, teknik dan distribusi. Kebanyakan produksi media adalah sebuah bisnis, maka mesti membuat keuntungan. Pertanyaan-pertanyaan soal kepemilikan dan kontrol begitu sentral, maka sejumlah orang tertentu yang relatif sedikit mengontrol apa yang kita tonton, baca, dan dengar dalam media. Ini bisa saja tampak marxis dalam arti menempatkan basis ekonomi bagi semua pesan media dan semua artifak budaya. Marxisme berguna untuk membongkar mistifikasi motivasi dengan menggunakan sebuah hermeneutika kecurigaan. Akan tetapi, marxisme memuat dorongan pada transendensi-diri yang menopang semua aktivitas manusia, termasuk analisis marxis itu sendiri. Kesadaran rohani memusatkan perhatian pada dorongan dasar terhadap transendensi-diri itu dan pemuasannya dalam hadiah gratis kasih oleh Allah yang kreatif dan berbela rasa.
5. Pesan media memuat pesan nilai dan ideologi. Semua produk media dalam arti tertentu adalah iklan nilai dan gaya hidup. Baik secara eksplisit maupun implisit media populer menyampaikan pesan ideologis mengenai isu-isu seperti ciri-ciri hidup yang baik dan nilai konsumerisme, peran wanita, pengakuan kekuasaan, dan patriotisme yang mantap. Persepsi dan imajinasi kita dibentuk oleh nilai-nilai ini. Kita tidak pernah bebas dari nilai, dan kita tidak pernah bisa lari dari ideologi yang menyokong nilai-nilai itu. Akan tetapi, kita tidak harus terpenjara oleh ideologi-ideologi dan nilai-nilai itu jika kita mengalaminya selalu sebagai manifestasi yang tak memadai dari sifat kita sesungguhnya, yaitu kesatuan yang disadari dengan yang ilahi. Literasi rohani membangun melek media, karena meskipun kesadaran media bisa menguji, dari sudut pandang tertentu, pesan-pesan yang adalah media, ia tidak dapat menguji dirinya sendiri. Literasi rohani memungkinkan pengujian itu dan menyodorkan kebebasan yang diangkat oleh pengujian itu.
6. Pesan media memuat implikasi sosial dan politis. Media memiliki pengaruh besar dalam politik dan dalam membentuk perubahan sosial. Contohnya, televisi bisa sangat memengaruhi pemilihan pimpinan negara atas dasar imaji, gambar. Media melibatkan kita dalam perhatian seperti hak azasi manusia, kelaparan di Afrika, dan HIV/AIDS. Media memberikan sense akan perhatian nasional dan global tertentu kepada kita sedemikian sehingga kita bisa mengimajinasikan bahwa kita sudah jadi dusun global McLuhan. Akan tetapi, kita mesti hati-hati untuk segera bicara generalisasi cepat ini. Kita juga tahu bahwa yang sedang diberikan kepada kita tidak semuanya ada, kita juga tahu bahwa kita bahkan tidak dapat mengasimilasinya. Sama halnya, kita tahu bahwa media yang adalah imajinasi dan persepsi kita adalah juga terbatas. Siapa kita adalah sebuah misteri, dan implikasi tindakan kita di dunia di mana kita hidup ada di luar kontrol kita. Sejauh kehadiran kita di dunia ini adalah juga media, kita membawa dan merepresentasikan nilai sosial dan politis. Kita bukanlah sekadar penerima pesan media, kita juga penyiar. Pertimbangkanlah arti penting label desainer dan ideogram yang terlekat dalam pakaian, makanan, gaya hidup kita. Kita menjelmakan misteri, tetapi dalam kebebasan operatif akan budaya kita. Bagaimana kita memilih untuk mengapropriasi kebebasan itu dan menampilkannya dalam hidup kita menjadi persoalan kesadaran rohani. Bagaimana orang lain membacanya adalah persoalan kesadaran media.
7. Bentuk dan isi terkait erat dalam pesan media. Seperti dicatat McLuhan, setiap medium memiliki struktur dan mengkodifikasi kenyataannya sendiri. Media lain akan menyampaikan peristiwa yang sama tetapi menciptakan kesan dan pesan yang berbeda. Ketika kita mengontemplasikan teks kitab suci, kepribadian dan energi yang menyusun hidup kita membentuk cara yang memungkinkan teks dan perjumpaan dengan Kristus itu menjadi hidup. Bahkan representasi Kristus dibentuk oleh energi-energi itu. Tetapi akan menjadi kekeliruan serius jika kita berpikir bahwa kontemplasi seperti ini hanyalah proyeksi dari kepribadian kita sendiri. Kontemplasi adalah juga produk aktivitas Allah dalam intimitas jiwa kita itu juga. Pada kenyataannya, Allah menggunakan imaji dan energi itu untuk menciptakan pesan media yang cocok bagi jalan personal kita. Bentuk dan isi dari yang kita alami dalam kontemplasi menyatakan komunikasi dan bahasa unik yang dimiliki Allah dengan kita. Kemampuan untuk membaca komunikasi itulah kesadaran rohani.
8. Setiap medium memiliki bentuk estetis unik. Seperti kita memperhatikan ritme mengasyikkan dari prosa atau puisi tertentu, demikian juga kita mestinya bisa menikmati bentuk dan efek yang menyenangkan dari media yang berbeda. Anda akan memperhatikan dalam doa kalau itu berjalan baik, Anda punya kesadaran waktu lewat tanpa terasa. Kalau tidak, waktu rasanya terseret-seret lama, Anda terdistraksi, bosan, atau berharap melakukan hal lain. Doa pribadi memiliki estetika dalam hal apa yang direpresentasikan, dalam cara representasinya, dalam aliran narasi dan editingnya. Ketika kita memperhatikan kontemplasi kita, kita mesti melihat bukan hanya insight yang kita anggap buah yang dihasilkan, tetapi juga semua faktor yang menyusun kontemplasi itu. Tentu saja, kontemplasi seperti film. Film, dilihat dari disiplin rohani, dan kontemplasi itu identik. Melek media, dalam tingkat spiritualitas, menjadi peranti refleksi atas apa yang terjadi dalam doa kita. Retret ini menyajikan penggunaan film, bukan untuk memaksakan insight tertentu dari LR tetapi sebagai manifestasi LR itu sendiri. Retret ini melihat melek media sebagai melek rohani, film sebagai kontemplasi, dan bioskop/nonton bareng sebagai penyediaan bagi audiens massal bentuk-bentuk kontemporer doa yang membahas isu-isu yang relevan dan mencari transendensi.
Inspirasi tulisan ini berasal dari (saduran) tulisan John J. Pungente & Monty Williams, Finding God in the Dark: Taking the Spiritual Exercises of St. Ignatius to the Movies (Toronto: Novalis 2004).
Rm. Andreas Setyawan, SJ
Tulisan ini sebagai Bahan Pelatihan Bagi Para Pendamping OMK di SAV (Studio Audio Visual) di Yogakarta, baik di sekolah maupun Paroki.
Bagaimana memberi kedalaman pada media yang bertendensi menawarkan kedangkalan? Mungkinkah orang muda yang sangat akrab dengan media melirik kedalaman hidup? Bagaimana caranya menarik orang muda masuk ke kedalaman di tengah gempuran media yang semakin sophisticated? Metodologi macam apakah yang tepat dipakai untuk pendampingan iman OMK zaman ini? Ini adalah beberapa pertanyaan yang melatarbelakangi draf tulisan singkat ini, tetapi karena topik yang terungkap dalam judul mengacu pada prasyarat pelaksanaan pendampingan iman OMK, pembahasan literasi media di sini hanya akan menyangkut asumsi-asumsi dasarnya.
Sekarang ini cliché dikatakan bahwa kita dibentuk oleh media, meskipun sebetulnya tidak setiap orang sadar diri sebagai makhluk yang selalu dibentuk oleh media dalam keseharian. Dulu orang akrab dengan budaya oral para story teller ketika orang mengandalkan pendengaran, atau fresco dan lukisan religius dalam budaya visual, atau drama dan novel rohani dalam budaya melek huruf, atau film dan televisi pada saat budaya audio-visual berkembang. Sekarang ini, setelah teknologi komunikasi berkembang, media yang membentuk kita adalah media sosial yang sangat potensial menggabungkan budaya audio-visual itu secara lebih intensif dan ekstensif.
Insight dasar teologis tulisan ini ialah bahwa Kristus, sebagai medium Allah, mengejawantahkan belas kasih Allah dalam dunia. Medium itu bukan hanya pesan dan isi, melainkan lebih radikal lagi, medium itu adalah dinamika hidup orang beriman sendiri dalam koneksinya dengan Kristus. Mengapa dihubungkan dengan Kristus sebagai medium Allah itu? Karena Dialah Sabda Allah yang hidup di dunia, Dialah pribadi yang secara definitif merepresentasikan kualitas yang disebut Ignasius Loyola sebagai contemplative in action. Di situ, imajinasi dalam doa mendapat tempat sentralnya, dan persis media sosial adalah pasar imajinasi yang signifikan bagi dorongan orang untuk membangun dunia secara tertentu.
Literasi media sangat diperlukan supaya orientasi pembangunan dunia dalam inflasi media sosial itu sinkron dengan orientasi Kristus sebagai medium Allah, supaya kehadiran media sosial sejalan dengan pengejawantahan belas kasih Allah dalam dunia. Untuk itu, beberapa landasan pemikiran perlu sungguh-sungguh diperhatikan:
· Cara berpikir relasional lebih menolong daripada cara berpikir dualistik (subjek-objek di mana subjek mendapat tempat mutlak, bdk. cogito ergo sum yang dipopulerkan Rene Descartes). Cara berpikir dualistik itu tak ayal lagi adalah cara berpikir yang melahirkan teknologi, dan dengan demikian juga media sosial, tetapi karena orang tak lagi kritis terhadap cara berpikirnya sendiri, orang tertelan oleh teknologi ciptaannya sendiri, tergilas oleh mesin buatannya sendiri, atau terkubur oleh mimpinya sendiri.
· Kerendahan hati epistemologis mutlak diperlukan dalam cara berpikir relasional, yaitu, tak seorang pun dapat mengklaim kemutlakan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan dibangun dalam hubungan sumber-sumber pengetahuan yang tidak lagi dapat dimonopoli oleh satu kelompok orang, satu generasi, satu ras, dan sebagainya. Dengan demikian, kategori pendampingan iman OMK tidak dapat memosisikan relasi timpang orang tua dan orang muda, seakan-akan sumber pengetahuan hanya ada pada orang muda (karena dianggap sebagai native digital) atau sebaliknya, seakan-akan orang tua yang punya asam garam pengalaman hidup sungguh memiliki pengetahuan mutlak akan iman atau kehidupan itu sendiri.
Jika dua landasan pemikiran itu tidak sungguh menjadi landasan, pendampingan iman OMK menemui jalan buntu karena relasi timpang yang dibangun dalam pendampingan itu senantiasa menempatkan orang muda sebagai orang baru sementara pendampingnya sudah dianggap sebagai alter Christus. Di penghujung pendampingan seperti ini, yang terjadi adalah transfer pengetahuan yang bisa jadi sudah sangat out of date dan Kristus sendiri mungkin sudah beranjak pergi dari medium pendampingan seperti itu. Yang didampingi tidak tertarik, yang mendampingi frustrasi. Untuk menghindari hal itu, barangkali perlu juga direfleksikan beberapa kenyataan yang lebih konstruktif dalam pendampingan OMK.
Mengapa kita keranjingan media sosial? Kita ingin dihibur, diberi informasi, suka pada orang dan tokoh di dalamnya, kepo dan lain sejenisnya. Itu jawaban spontan, tetapi kalau kita pertimbangkan sungguh-sungguh, kita lihat alasan-alasan itu berakar pada pengalaman dasar manusia yang merupakan ungkapan hasrat manusia akan suatu transendensi-diri. Hasrat dihibur, misalnya, berasal dari upaya untuk lari dari kebosanan, perangkap dalam diri sendiri. Hasrat akan informasi berasal dari keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Menjadi fan atau follower orang atau tokoh sosial tertentu merupakan keterlibatan akan bentuk identifikasi melalui idealisasi kerinduan religius kita.
Jenis media atau genre media, kalau bisa dibuat kategori seperti itu, menunjukkan dorongan dasar seseorang. Film atau game detektif menunjukkan hasrat bawaan akan keteraturan; film horor memungkinkan kita menghadapi ketakutan akan kekuatan tak dikenal yang bisa merusak kita; kisah cinta menegaskan kekuatan relasi untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas. Kalau orang pergi ke bioskop dengan teman atau melakukan permainan berjejaring, ia melihat media sebagai tempat perayaan komunitas dan dari perayaan itu orang bisa jadi, sadar atau tidak, kreatif, atentif dan bertanggung jawab. Media sosial lalu bisa jadi Gereja kontemporer, sejauh orang kritis terhadap karakteristik media sosial.
Media sosial, seperti bioskop, berarsitektur teater yang sifatnya eklesial juga: individual sekaligus komunal. Orang duduk atau berdiri atau memosisikan diri dengan cara lainnya di ruang suci yang dibedakan dari dunia sehari-hari dengan manipulasi ruang-waktu. Di bioskop, seperti halnya media sosial, tak ada siang atau malam. Media sosial, sebagaimana film di bioskop, punya waktunya sendiri. Apa yang terjadi ditentukan oleh apa yang ditindakkan di depan indra kita. Baik konteks dan siapa diri kita yang kita lihat di sana secara teknis didesain untuk terlibat dan memfokuskan semua indera kita dalam cara yang secara bebas, aktif dan selektif.
Display adapter dalam gawai atau proyektor melemparkan ilusi gerakan dan secara kreatif pikiran mentransformasi ilusi itu dalam kemiripan realitas, dan tiap orang mengambil peran kritis untuk mengevaluasi apa yang diimajinasikan. Realisme bukanlah realitasnya sendiri, melainkan konvensi budaya. Maka, bisa terjadi konflik interpretasi dan sensor politik bisa sedemikian dominan. Terlepas dari isu interpretasi itu ada pertanyaan lebih luas mengenai bagaimana yang dilihat itu tercipta: produksi nilai, plot, karakter, teknik untuk menggambarkan konvensi realitas yang bisa diterima pendengar dan penonton. Proses itu identik dengan bagaimana penikmat media sosial menafsirkan data mentah dari layar medsos itu.
Proses itu adalah proses kreatif dan problem keterlibatan dalam media sosial itu adalah soal sifat kontemplasi dalam aksi. Ini adalah pandangan yang lebih luas mengenai literasi media. Literasi media adalah keahlian dalam membaca dan memahami media yang didasarkan pada premis bahwa media bukanlah instrumen transparan yang menyalurkan pesan objektif dari pengirim ke penerima. Sebaliknya, setiap instrumen terbentuk oleh baik pengirim maupun penerima dan memanipulasi data yang diprosesnya. Literasi media mengajari kita bahwa yang ditampilkan tidaklah objektif nyata begitu saja. Apa yang ditunjukkan, bagaimana ditunjukkan, apa yang diterima dan bagaimana itu diterima, semuanya adalah produk imajinasi kreatif.
Ketika Tuhan berkomunikasi dengan kita, dinamika imajinasi seperti itu berperan. Bisa jadi kesadaran media adalah kesadaran spiritual. Mediumnya ialah komunikasi diri Allah kepada kita, “Sabda menjadi daging”, melalui kerja imajinasi. Allah kreatif; imajinasi pun kreatif; dan kita juga kreatif. Dalam literasi spiritual, kreativitas-kreativitas itu bergabung dalam tindak kontemplasi. Sebaliknya, jika orang tak punya literasi spiritual, ia cuma punya konsep waktu linear dan nuansa ketakterelakkan. Film, misalnya, meskipun bergerak maju, tidak bekerja dengan konsep waktu linear. Ada flashback, kebersamaan, cross-cutting, reversals, overlays, perubahan perspektif, waktu, pencahayaan, tone – semuanya menciptakan sense pluralitas yang terbuka pada pemahaman dan penggambaran Allah yang tidak monolitik tanpa variasi. Akibatnya, semua bisa tampak seperti chaos. Untuk membaca pola dalam chaos itu diperlukan literasi spiritual.
Dengan literasi spiritual, kita mendapati bahwa kita lebih dari siapa atau apa yang kita pikirkan. Perjalanan ziarah masuk pada tabir yang belum kita kenal itu difasilitasi media yang kita lihat. Kita mengamati dan merefleksikan tindakan dan pilihan tokoh yang menarik perhatian dan dunia mereka. Kita juga merefleksikan bagaimana tokoh-tokoh dan dunia itu ditampilkan. Dari perjumpaan dengan apa yang kita kontemplasikan, kita membentuk hidup kita dan konteksnya. Kontemplasi seperti ini adalah literasi spiritual dan ini lebih berkenaan dengan keterlibatan dan komitmen daripada tontonan atau pertunjukan. Bagaimana cara kerjanya?
Melihat media seperti klip video atau film adalah tindak kontemplatif. Dalam kontemplasi, Anda membuka diri pada apa yang Anda kontemplasikan, sebagaimana apa yang Anda kontemplasikan membuka dirinya terhadap Anda. Dalam perjumpaan itu, keduanya berubah. Dalam kontemplasi Ignasian, Anda mengambil teks kitab suci dan masuk dalam tindakan. Ada tingkat-tingkat keterlibatan seperti juga tingkatan dalam melihat media. Anda bisa menjadi penonton yang semakin terlibat ketika secara emosional Anda jadi bagian dari aksi (ikut menangis, geram, kecewa). Pada tingkat yang lebih dalam lagi, Anda juga bisa sedemikian tergerak sehingga pengalaman menjadi mendalam dan transformatif.
Dalam semua tingkat itu, energi kreatif imajinasi melingkupi seluruh pribadi, yang berbeda dari fantasi dan mimpi siang bolong, yang keterlibatannya terbatas dan dangkal. Kita berhasrat untuk menjalin hubungan dengan Tuhan, dalam doa, Tuhan pun berhasrat untuk kontak dengan kita. Dalam doa itu, kreativitas manusia bertemu dengan kreativitas ilahi melalui imajinasi. Ketika orang menggunakan media sebagai doa, hal yang sama terjadi. Dalam tindak saling hadir itu, penonton mengalami sebuah kisah yang menggali kemungkinan dalam sebuah konteks terbatas dan mengejawantahkan nilai dalam tindakan dan pilihan-pilihan seturut intensitas konsolasi atau desolasinya.
Dalam Latihan Rohani Ignasius Loyola, istilah itu dipakai secara berbeda seturut keadaan pribadi seseorang. Mereka yang gembira dalam hidup egosentis akan mengalami konsolasi ketika punya kesempatan untuk hidup egois. Akan tetapi, mereka yang mencoba melepaskan diri dari selfishness akan mengalami desolasi sebagai pergulatan melawan kebiasan yang menyenangkan tapi tak membebaskan. Begitulah konsolasi-desolasi dipakai bagi orang yang berorientasi terhadap kepentingan diri mereka sendiri. Bagi mereka yang orientasinya jauh dari egosentrisme konsolasi dialami ketika bergerak pada yang baik dan yang lebih baik lagi, tetapi desolasi ketika menolak yang lebih baik.
Baik konsolasi maupun desolasi bukanlah perasaan. Keduanya adalah petunjuk arah berdasarkan sikap dasar kita sendiri. Kalau dasarnya egois, melihat hal yang lebih baik akan menyebabkan desolasi. Sebaliknya, kalau dasarnya altruis, menatap yang lebih baik menyebabkan konsolasi. Maka, pendampingan OMK tak punya tujuan di luar kerangka penemuan siapa diri kita (masing-masing) dan kemudian membantu kita untuk melihat arah mana yang sedang kita tuju, dan membantu kita memahami langkah selanjutnya.
Ketika orang menghadapi media, yang dirasakannya bergantung pada komitmen dasarnya. Media menunjukkan kepada kita siapa diri kita. Dengan media, kita punya kesempatan untuk melihat diri kita dalam dua cara mendasar. Pertama, dalam media itu kepada kita ditunjukkan tampilan hidup yang berinteraksi dengan horison kesadaran kita. Kita mulai dengan apa yang kita ketahui, kemudian ada yang kita sadari bahwa kita tidak mengetahuinya, kemudian apa yang kita tidak ingin tahu, dan lalu apa yang kita tak tahu apa yang tidak kita ketahui. Khususnya dalam video atau film, lebih daripada media lain, kita berhadapan dengan diversitas itu. Melalui kontak itu kita dapati dunia kita meluas, mengatasi perhatian dan kepentingan kita.
Kedua, media yang kita lihat mengaduk oposisi konsolasi-desolasi dalam diri kita. Dua mode relasi ini menyatakan kepada kita di mana dan bagaimana kita disituasikan dalam jalan menuju transendensi-diri ketika kita mendekati media sebagai tindak kontemplatif. Misalnya, sebuah iklan bisa membawa kita berhadapan dengan tingkat penipuan diri (personal, politis, militer, religius, kultural) yang endemik dalam masyarakat kita. Dari situ, kita dapat semakin mengenali diri atas dasar kecenderungan yang dapat dievaluasi dengan petunjuk arah konsolasi-desolasi tadi. Meskipun demikian, baik juga diperhatikan konsep kunci mengenai literasi media.
Membaca media (sosial) dengan menggunakan teknik kesadaran rohani kiranya menjadi tugas bukan hanya kaum profesional, akademisi atau religius. Pembacaan ini didasarkan pada teknik kesadaran media yang kita serap dengan merefleksikan apa yang kita lihat dalam budaya media yang kita hidupi sekarang ini. Delapan konsep kunci ini menyediakan dasar teoretis bagi semua literasi media, dan memberi bahasa dan kerangka umum untuk diskusi media.
1. Semua media adalah konstruksi. Media tidak begitu saja mencerminkan realitas eksternal seperti cermin memantulkan apa saja yang ada di depannya, atau seperti kaca akuarium yang mengizinkan mata kita memandang seisi akuarium. Barangkali kalau dianalogikan secara kasar, media itu seperti suryakanta yang memperbesar bagian tertentu sementara bagian lain tak terbaca. Media secara hati-hati menampilkan konstruksi yang melibatkan banyak keputusan dan merupakan hasil banyak faktor penentu. Kesadaran media bekerja sebaliknya: membongkar konstruksi tersebut, yaitu mengkaji bagaimana media dibuat sedemikian sehingga kita tidak menerimanya mentah-mentah. Proyek imajinasi kreatif dan persepsi kita terjadi dengan cara yang mirip, disiplin rohani kontemplasi dan refleksi membebaskan orang dari jerat kekuatan-kekuatan yang menentukan apa yang kita lihat dan imajinasikan dan mengevaluasi secara spontan aksi-aksi yang tampak alamiah dalam media itu.
2. Media membangun aspek realitas. Media bertanggung jawab atas kebanyakan pengamatan dan pengalaman yang kita pakai untuk membantun pemahaman dunia kita dan bagaimana itu terjadi. Banyak pandangan kita terhadap kenyataan didasarkan pada pesan media dengan sikap, tafsir dan kesimpulan yang sudah built-in di dalamnya. Maka, media secara umum memberi sense akan kenyataan kepada kita. Pada kenyataannya, media juga memberi kita sense kerohanian, tetapi harus diingat bahwa kerohanian bersifat dinamis dan memiliki potensi 'menentang'. Sifat ini bersitegang dengan konstruksi media, sebagaimana sifat Allah juga bisa bersitegang dengan ciptaan.
3. Audiens menegosiasi makna dalam media. Jika media menyediakan banyak material yang kita pakai untuk membangun gambaran kenyataan kita, masing-masing dari kita menemukan atau “menegosiasi” makna seturut faktor individual: kebutuhan dan kecemasan pribadi, kesenangan atau kesulitan harian, sikap rasial dan seksual, latar belakang keluarga dan budaya, pijakan moral, dan sebagainya. Kesadaran rohani menguji dinamika mediasi itu dalam terang konsolasi dan desolasi kita sendiri, yang menyatakan dalam cara intim relasi kita dengan misteri yang kita sebut Allah.
4. Pesan media berimplikasi komersial. Literasi media bertujuan mendorong kesadaran mengenai bagaimana media dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan komersial, dan bagaimana ini akhirnya menekan pengaruh terhadap isi, teknik dan distribusi. Kebanyakan produksi media adalah sebuah bisnis, maka mesti membuat keuntungan. Pertanyaan-pertanyaan soal kepemilikan dan kontrol begitu sentral, maka sejumlah orang tertentu yang relatif sedikit mengontrol apa yang kita tonton, baca, dan dengar dalam media. Ini bisa saja tampak marxis dalam arti menempatkan basis ekonomi bagi semua pesan media dan semua artifak budaya. Marxisme berguna untuk membongkar mistifikasi motivasi dengan menggunakan sebuah hermeneutika kecurigaan. Akan tetapi, marxisme memuat dorongan pada transendensi-diri yang menopang semua aktivitas manusia, termasuk analisis marxis itu sendiri. Kesadaran rohani memusatkan perhatian pada dorongan dasar terhadap transendensi-diri itu dan pemuasannya dalam hadiah gratis kasih oleh Allah yang kreatif dan berbela rasa.
5. Pesan media memuat pesan nilai dan ideologi. Semua produk media dalam arti tertentu adalah iklan nilai dan gaya hidup. Baik secara eksplisit maupun implisit media populer menyampaikan pesan ideologis mengenai isu-isu seperti ciri-ciri hidup yang baik dan nilai konsumerisme, peran wanita, pengakuan kekuasaan, dan patriotisme yang mantap. Persepsi dan imajinasi kita dibentuk oleh nilai-nilai ini. Kita tidak pernah bebas dari nilai, dan kita tidak pernah bisa lari dari ideologi yang menyokong nilai-nilai itu. Akan tetapi, kita tidak harus terpenjara oleh ideologi-ideologi dan nilai-nilai itu jika kita mengalaminya selalu sebagai manifestasi yang tak memadai dari sifat kita sesungguhnya, yaitu kesatuan yang disadari dengan yang ilahi. Literasi rohani membangun melek media, karena meskipun kesadaran media bisa menguji, dari sudut pandang tertentu, pesan-pesan yang adalah media, ia tidak dapat menguji dirinya sendiri. Literasi rohani memungkinkan pengujian itu dan menyodorkan kebebasan yang diangkat oleh pengujian itu.
6. Pesan media memuat implikasi sosial dan politis. Media memiliki pengaruh besar dalam politik dan dalam membentuk perubahan sosial. Contohnya, televisi bisa sangat memengaruhi pemilihan pimpinan negara atas dasar imaji, gambar. Media melibatkan kita dalam perhatian seperti hak azasi manusia, kelaparan di Afrika, dan HIV/AIDS. Media memberikan sense akan perhatian nasional dan global tertentu kepada kita sedemikian sehingga kita bisa mengimajinasikan bahwa kita sudah jadi dusun global McLuhan. Akan tetapi, kita mesti hati-hati untuk segera bicara generalisasi cepat ini. Kita juga tahu bahwa yang sedang diberikan kepada kita tidak semuanya ada, kita juga tahu bahwa kita bahkan tidak dapat mengasimilasinya. Sama halnya, kita tahu bahwa media yang adalah imajinasi dan persepsi kita adalah juga terbatas. Siapa kita adalah sebuah misteri, dan implikasi tindakan kita di dunia di mana kita hidup ada di luar kontrol kita. Sejauh kehadiran kita di dunia ini adalah juga media, kita membawa dan merepresentasikan nilai sosial dan politis. Kita bukanlah sekadar penerima pesan media, kita juga penyiar. Pertimbangkanlah arti penting label desainer dan ideogram yang terlekat dalam pakaian, makanan, gaya hidup kita. Kita menjelmakan misteri, tetapi dalam kebebasan operatif akan budaya kita. Bagaimana kita memilih untuk mengapropriasi kebebasan itu dan menampilkannya dalam hidup kita menjadi persoalan kesadaran rohani. Bagaimana orang lain membacanya adalah persoalan kesadaran media.
7. Bentuk dan isi terkait erat dalam pesan media. Seperti dicatat McLuhan, setiap medium memiliki struktur dan mengkodifikasi kenyataannya sendiri. Media lain akan menyampaikan peristiwa yang sama tetapi menciptakan kesan dan pesan yang berbeda. Ketika kita mengontemplasikan teks kitab suci, kepribadian dan energi yang menyusun hidup kita membentuk cara yang memungkinkan teks dan perjumpaan dengan Kristus itu menjadi hidup. Bahkan representasi Kristus dibentuk oleh energi-energi itu. Tetapi akan menjadi kekeliruan serius jika kita berpikir bahwa kontemplasi seperti ini hanyalah proyeksi dari kepribadian kita sendiri. Kontemplasi adalah juga produk aktivitas Allah dalam intimitas jiwa kita itu juga. Pada kenyataannya, Allah menggunakan imaji dan energi itu untuk menciptakan pesan media yang cocok bagi jalan personal kita. Bentuk dan isi dari yang kita alami dalam kontemplasi menyatakan komunikasi dan bahasa unik yang dimiliki Allah dengan kita. Kemampuan untuk membaca komunikasi itulah kesadaran rohani.
8. Setiap medium memiliki bentuk estetis unik. Seperti kita memperhatikan ritme mengasyikkan dari prosa atau puisi tertentu, demikian juga kita mestinya bisa menikmati bentuk dan efek yang menyenangkan dari media yang berbeda. Anda akan memperhatikan dalam doa kalau itu berjalan baik, Anda punya kesadaran waktu lewat tanpa terasa. Kalau tidak, waktu rasanya terseret-seret lama, Anda terdistraksi, bosan, atau berharap melakukan hal lain. Doa pribadi memiliki estetika dalam hal apa yang direpresentasikan, dalam cara representasinya, dalam aliran narasi dan editingnya. Ketika kita memperhatikan kontemplasi kita, kita mesti melihat bukan hanya insight yang kita anggap buah yang dihasilkan, tetapi juga semua faktor yang menyusun kontemplasi itu. Tentu saja, kontemplasi seperti film. Film, dilihat dari disiplin rohani, dan kontemplasi itu identik. Melek media, dalam tingkat spiritualitas, menjadi peranti refleksi atas apa yang terjadi dalam doa kita. Retret ini menyajikan penggunaan film, bukan untuk memaksakan insight tertentu dari LR tetapi sebagai manifestasi LR itu sendiri. Retret ini melihat melek media sebagai melek rohani, film sebagai kontemplasi, dan bioskop/nonton bareng sebagai penyediaan bagi audiens massal bentuk-bentuk kontemporer doa yang membahas isu-isu yang relevan dan mencari transendensi.
Inspirasi tulisan ini berasal dari (saduran) tulisan John J. Pungente & Monty Williams, Finding God in the Dark: Taking the Spiritual Exercises of St. Ignatius to the Movies (Toronto: Novalis 2004).